Radio Internet FuhYooFm

Isnin, April 21, 2008

MELAWAT MAKAM WALISONGO






Perjalananku kali ini ke Jawa Tengah dan Jawa Timur membawa aku melawat kesan sejarah dan permakaman beberapa Walisongo (Sembilan Wali) yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Kawasan ini adalah laluan perjalananku dari Surabaya ke Pati-Demak-Kudus-Malang-Surabaya.

Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Peranan mereka sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga mempengaruhi kebudayaan masyarakat serta dakwah.

Walisongo berarti sembilan orang wali. Mereka adalah:

1. Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Giri
4. Sunan Bonang
5. Sunan Dradjad
6. Sunan Kalijaga
7. Sunan Kudus
8. Sunan Muria
9. Sunan Gunung Jati

Kesemua wali ini tidak hidup dalam waktu yang sama tetapi mereka mempunyai kaitan rapat seperti hubungan darah dan juga diantaranya adalah mempunyai hubungan guru dan murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Beliau mempunyai anak yang dikenali sebagai Sunan Ampel. Sunan Giri pula adalah anak saudara Maulana Malik Ibrahim yang bererti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak kepada Sunan Ampel. Sunan Kalijaga pula merupakan sahabat dan juga murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus juga murid kepada Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan-Sunan yang lain kecuali Maulana Malik Ibrahim yang terlebih dahulu meninggal dunia. Kesemua mereka tinggal di pantai utara Pulau Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16 iaitu di tiga wilayah penting (Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah serta Cirebon di Jawa Barat). Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada zamannya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru seperti dalam bentuk kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan sehingga kepada pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama tetapi ia juga merupakan pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah penyumbang karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga ke hari ini. Sementara Sunan Muria adalah pemimpin agama yang sangat rapat dengan rakyat jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Mereka mempunyai peranan penting seperti Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang dianggap oleh kolonialis sebagai "paus dari Timur" serta Sunan Kalijaga telah mencipta karya kesenian dengan menggunakan gaya dan cara yang dapat difahami oleh masyarakat Jawa dengan tidak meninggalkan kebudayaan Hindu dan Budha.

Beberapa catatan mengenai kesemua wali ini adalah sebagaimana berikut:-

1. Maulana Malik Ibrahim:

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Beliau meninggal dunia pada tahun 1419. Dikenali juga sebagai Syekh Magribi. "Kakek Bantal" adalah juga sebutan oleh penduduk Jawa. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai yang juga merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein iaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Selama tiga belas tahun sejak tahun 1379 Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa atau sekarang dikenali Kamboja (Cambodia). Ia mempunyai seorang isteri dari putri raja dan mendapat dua orang anak iaitu Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.

Pada tahun 1392 iaitu setelah merasakan puas berdakwah di Kambodia, Maulana Malik Ibrahim berhijrah ke Pulau Jawa meninggalkan dengan meninggalkan keluarganya. Terdapat beberapa versi yang menyatakan bahwa kedatangannya disertai oleh beberapa orang. Daerah yang dituju bagi pertama kali adalah Desa Sembalo, sebuah daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Desa Sembalo kini adalah daerah Leran kecamatan Manyar iaitu sejauh 9 kilometer ke utara kota Gresik. Kegiatan pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan keperluan harian dengan harga yang murah. Selain itu, beliau juga menyediakan diri untuk mengobati pesakit yang memerlukan bantuan secara percuma. Sebagai seorang tabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Kemungkinan juga permaisuri tersebut masih bersaudara kepada istrinya. Selain itu, beliau yang juga dikenali sebagai Kakek Bantal telah mengajar cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawahan iaitu satu kasta yang disisihkan dalam masyarakat dan budaya Hindu. Misi pertama beliau sangat berjaya untuk mencari tempat di hati masyarakat yang ketika itu dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Sebelum meninggal dunia pada tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim sempat mendirikan tempat untuk pembelajaran agama di Leran. Jenazahnya dimakamkan di Desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.

2. Sunan Ampel:

Sunan Ampel adalah anak sulung Maulana Malik Ibrahim. Nama asalnya adalah Raden Rahmat dan dilahirkan di Campa pada 1401 Masehi. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, Surabaya (kota Wonokromo sekarang) adalah tempatnya bermukim dan menyibarkan agama Islam. Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 bersama adiknya iatu Sayid Ali Murtadho. Sebelum ke Jawa pada tahun 1440, mereka singgah dahulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, mereka melabuh dan berhijrah ke daerah Gresik. Seterusnya mereka ke Majapahit untuk menemui ibu saudaranya, seorang putri dari Campa yang bernama Dwarawati. Ibu saudaranya ini telah dipersunting oleh salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikurniakan beberapa orang anak lelaki dan perempuan. Diantaranya yang menjadi penerus tugas-tugas dakwah adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Ketika Kesultanan Demak iaitu 25 kilometer arah selatan kota Kudus hendak didirikan, Sunan Ampel turut bersama mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Pada tahun 1475, Sunan Ampel telah mengesyurkan supaya Raden Fatah iaitu anak lelaki Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit) untuk menjadi Sultan Demak.

Di Ampel Denta, daerah yang dihadiahkan oleh Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi pusat pendidikan yang sangat berpengaruh di Nusantara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Fatah. Para santri tersebut kemudian berdakwah ke berbagai pelosok di Pulau Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan akidah dan ibadah. Beliaulah yang mengenalkan istilah "Moh Limo" iaitu satu istilah dalam bahasa Jawa yang dimaksudkan sebagai "Tidak Mahu Lima Perkara" iaitu moh main (tidak bermain judi), moh ngombe (tidak meminum minuman keras), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak mengguna dadah dan narkotik) dan moh madon (tidak berzina). Sunan Ampel meninggal dunia dan disemadikan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya pada tahun 1481.

3. Sunan Giri:

Sunan Giri lahir di Blambangan pada tahun 1442. Memiliki beberapa nama panggilan iaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Terdapat beberapa silsilah Sunan Giri yang berbeza. Ada pendapat mengatakan ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, iaitu putri dari Menak Sembuyu, penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit. Pendapat lainnya menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW iaitu melalui keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut. Sunan Giri merupakan anak dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabak penyakit di wilayah tersebut. Ia dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu dengan menghanyutkannya ke laut. Kemudiannya, bayi tersebut dijumpai oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal iaitu Nyai Gede Pinatih dan dinamakan bayi tersebut sebagai Joko Samudra. Ketika dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Apabila Sunan Ampel mengetahui latar belakang murid kesayangannya ini maka ia dihantar kepada Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tidak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal usul dan alasan mengapa dia dulu dibuang. Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap mempunyai hubungkait dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

4. Sunan Bonang:

Beliau adalah anak Sunan Ampel yang juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada tahun 1465. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, seorang puteri adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang majoriti masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang, di sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Tengah sejauh 15 kilometer ke timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan, zawiyah atau pesantren yang kini dikenali dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tidak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah terpencil dan sukar untuk didakwahkan seperti di Tuban, Pati, Madura dan sehingga ke Pulau Bawean. Pada tahun 1525 beliau meninggal dunia di Pulau Bawean. Jenazahnya dimakamkan di Tuban iaitu di sebelah barat Masjid Agung. Sebelumnya, masyarakat Bawean dan Tuban telah berebutan jenazah. Sunan Bonang tidak seperti Sunan Giri yang memfokuskan fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tassauf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tassauf, seni, sastra dan arkitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang mahir mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafah 'cinta' ('isyq). Ia sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Mengikut Sunan Bonang, cinta bersama iman, pengetahuan intuitif iaitu makrifat dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara popular melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bekerjasama dan bersama dengan Sunan Kalijaga iaitu murid kesayangannya. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang banyak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi gaya dan nafas baru. Dialah yang menjadi pencipta gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan alam malakut. Salah satu karya Sunan Bonang adalah "Tombo Ati". Dalam pentas wayang kulit, Sunan Bonang adalah dalang yang sangat digemari penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan oleh Sunan Bonang sebagai peperangan antara penafian dan 'isbah atau peneguhan iman.

5. Sunan Drajad:

Sunan Drajat dilahirkan pada tahun 1470. Namanya semasa kecil adalah Raden Qasim, kemudiannya digelar Raden Syarifudin. Dia yang terkenal dengan kecerdasannya adalah anak dari Sunan Ampel dan bersaudara dengan Sunan Bonang. Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Lamongan.

Setelah menguasai pelajaran dalam bidang agama islam, beliau menyebarkannya di desa Drajad di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia digelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun 1442/1520 masehi. Makam Sunan Drajat boleh ditemui atau dilawati dari Surabaya ataupun Tuban melalui Jalan Dandeles (Anyer - Panarukan), dan boleh juga melalui Lamongan.

Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me­ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya. Beliau menguasai kerajaan Demak selama 36 tahun.

Sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal, beliau sangat perihatin dengan rakyat miskin dengan terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial dan seterusnya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasinya lebih ditekankan pada etos kerja keras, menderma dan sedekah bagi membenteras kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usahanya kearah itu menjadi lebih mudah kerana Sunan Drajat memperoleh kekuasaan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas segala usaha dan kejayaannya menyebarkan agama Islam dan usahanya membasmi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau diberi gelaran Sunan Mayang Madu dari Raden Patah, Sultan Demak I pada tahun 1442 atau 1520 Masehi.

6. Sunan Kalijaga:

Sunan Kalijaga adalah "wali" yang paling banyak disebut oleh masyarakat Jawa. Dilahirkan pada tahun 1450 dari bapanya yang bernama Arya Wilatikta iaitu Adipati Tuban berketurunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Ketika itu Arya Wilatikta telah menganut agama Islam. Nama semasa kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Terdapat berbagai versi mengenai asal-usul nama Kalijaga yang digunakannya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah bermukim di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjukkan statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Semasa hidupnya Sunan Kalijaga mencapai umur lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia mempunyai pola yang sama dengan Sunan Bonang, mentor yang juga sahabat karibnya. Fahaman keagamaannya cenderung kepada "sufistik salaf" dan bukan sufi panteistik iaitu pemujaan semata. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai cara untuk berdakwah dan sangat bersesuaian dengan budaya tempatan. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauhkan diri jika diserang dengan pendirian dan pegangannya. Maka mereka harus didekati secara beransur-ansur iaitu mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga sangat berkesan. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai cara berdakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton dan masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Cara berdakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang dikenali Kotagede Yogya). Jenazah Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu iaitu di selatan Demak.

7. Sunan Gunung Jati:

Sunan Gunong Jati dilahirkan pada tahun 1448. Ibunya adalah Nyai Rara Santang iaitu putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa. Ayahnya pula adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir berketurunan Bani Hasyim dari Palestin. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Setelah berdirinya Kesultanan Bintoro di Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Begitupun banyak kisah yang tidak munasabah yang telah dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj dan bertemu dengan Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Semuanya hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati menggunakan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan agama Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangunkan infrastruktur seperti jalan-jalan yang menghubungkan antara wilayah. Bersama dengan anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Beliau diterima sebagai bakal Kesultanan Banten. Sebaliknya pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mengundurkan diri dari jawatan yang dipegangnya dan hanya ingin meneruskan dakwah sahaja. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal dunia di Cirebon pada usia 120 tahun. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, 15 kilometer sebelum memasuki kota Cirebon dari arah barat.

8. Sunan Kudus:

Namanya senasa kecil adalah Jaffar Shadiq. Beliau adalah anak dari pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah iaitu adik Sunan Bonang, anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga ke Gunung Kidul. Cara berdakwahnya juga meniru pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran pada budaya setempat. Cuma cara penyampaiannya lebih halus. Inilah yang menyebabkan para wali yang lain meminta beliau berdakwah ke Kudus yang dikatakan sangat sukar untuk ditembusi. Gaya dan caraa Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal ini dapat dilihat dari arkituktur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran untuk berwudhu yang melambangkan delapan jalan Budha iaitu satu pendekatan dan kompromi oleh Sunan Kudus. Suatu ketika ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan dakwahnya dengan cara ia sengaja menambatkan lembunya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Penganut Hindu sangat mengagungkan lembu, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang bererti "Lembu Betina". Sehingga kini, sebahagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih lembu. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara bersiri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kisah selanjutnya. Inilah satu pendekatan yang nampaknya seperti memasukkan cerita 1001 malam dari Khalifah Abbasiyah. Begitulah cara Sunan Kudus mengikat masyarakat. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut sama berperang di Demak diantara Sultan Prawata melawan Adipati Jipang iaitu Arya Penangsang.

9. Sunan Muria:

Sunan Muria adalah anak kepada Dewi Saroh iaitu adik kandung Sunan Giri yang juga merupakan anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria iaitu 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya iaitu Sunan Kalijaga. Begitupun, perbezaan dengan ayahnya adalah Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Beliau bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan cara bercocok tanam, berdagang dan menjadi nelayan adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai orang tengah dalam sebarang konflik di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia sangat dikenali dengan mempunyai kepribadian yang mampu memecahkan berbagai masalah walaupun ia sangat rumit. unan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya adalah melalui seni iaitu dari lagu Sinom dan Kinanti .

4 ulasan:

malaysia baru berkata...

Semoga kita bersama2 berdakwah untuk membawa manusia menerima agama Allah seperti yg di lakukan oleh kesemua Wali Songo...

Dakwah = kerja kita... Just do it.

Alhamdulillah berkata...

bagaimana nak buat lawatan sana? boleh bagi travel agent yang menguruskan lawatan kerajaan lama islam dan wali2

sila emel saya
daniaberlina@gmail.com

Nooren Aman berkata...

Tak kenal ulama maka tak cinta. Terima kasih atas perkongsian ini.

Nooren Aman berkata...

Tak kenal ulama maka tak cinta. Terima kasih atas perkongsian ini.